Cara Download

Klik judul lagu yang anda inginkan dan klik read more di setiap bagian bawah atau samping gambar, silahkan ambil lirik lagunya gratis hanya untuk Anda. Jika ingin melihat daftar lagu, lihat kolom arsip blog.

Selasa, 18 Mei 2010

Tercapainya Sebuah Keinginan


              Bel pulang sekolah berbunyi, Aku, Lita, dan seluruh temen-temanku berhamburan keluar kelas. Dengan senyum mengembang, Lita mulai bercerita tentang rencana liburannya padaku,
            “Liburan minggu depan, Paman dan Bibiku akan mengajak anaknya untuk berlibur di rumahku. Senang sekali rasanya”. Ucap Lita dengan penuh semangat.
            “Wah pasti akan menyenangkan ya,Lit…”. balasku dengan tidak kalah bersemangat.
            Lita menanggapi dengan senyum yang makin indah dan manis. Ibunya memang hanya punya satu saudara, yang tidak lain adalah pamannya itu. Kami biasa memanggilnya Om Vito. Beliau mamang sangat penyayang, sabar dan baik hati. Rasa sayangnya pada Lita sama seperti rasa sayang seorang ayah kepada anaknya. Tentu saja itu membuat Lita sangat senang. Dan pada akhirnya Ia tak pernah sedih jika mengingat Ayahnya yang telah lama meninggal.
            Tidak lama setelah perbincangan kami, Pak Udin, sopir Mamaku sudah menunggu di depan gerbang sekolahku. Ia melambaikan tangannya untuk menunjukkan keberadaannya.
            “huh, untuk menjemputku saja harus sopirku yang memanggil dan mencariku! Nggak bisa kalau mamaku yang turun, lalu mencariku? Aku kesal..” aku mulai tidak tahan dan menggerutu.
            “Mungkin Mamamu capek, jadi yang manggil sopirmu. Positive thingking aja ya”, hibur Lita.
            Lita sangat mengenal keluargaku, kami sudah bersahabat sejak SD. Susah senang sudah kami lewati bersama. Keluargaku yang sangat sibuk atau terkadang sok sibuk jarang sekali menghabiskan waktu bersama-sama sudah sangat disadari Lita. Aku dan adikku, Vira, sampai gerah melihatnya. Padahal adikku itu masih sangat kecil, dia masih kelas satu SD. Sangat menyedihkan karena dia harus memiliki keadaan keluarga yang seperti ini.
            “Sherly, sampai di rumah langsung makan bareng Vira ya. Semua makan siang kalian ada di atas meja makan. Maaf ya, Mama nggak bisa nemenin. Mama ada arisan hari ini ”, kata Mama tanpa ada rasa salah saat aku sudah duduk manis di dalam mobil.
            “Memangnya nggak bisa ya,Ma kalau nggak arisan hari ini. Kemarin aja Mama nggak nemenin kita makan siang. Apa harus hari ini Vira makan siang berdua lagi sama Aku. Kasihan Vira, Ma. Jangan ditinggal terus donk!”.
           
           
            Bruuuuk……Aku menjatuhkan diri ke atas tempat tidurku dan mulai melaksanakan ritualku. Menangis dan menangis. Aku meratapi diriku yang tidak bisa mendapatkan saat-saat indah yang seharusnya kami miliki. Yang paling aku sedihkan adalah atmosfer religius dalam keluargaku. Papa dan Mamaku jarang sekali makan dan melaksanakan shalat berjamaah dengan kami. Bahkan hal ini bisa dikatakan tidak pernah. padahal Vira sangat membutuhkan itu semua.
            “Kak, makan siang yuk. Adik udah lapar”, pinta Vira saat tiba-tiba masuk ke kamarku. Aku belum sempat menghapus air mataku saat itu.
            “Kakak kenapa nangis? Adik nggak nakal kan, Kak? Kakak lagi sedih ya?”, Vira yang kaget melihatku menangis jadi ikut sedih, tiba-tiba Ia memelukku.
            “Iya, kakak cuma lagi sedih. Adik nggak nakal kok. Sudah, ayo makan siang dulu. habis gitu kita shalat dhuhur ya”. Aku berusaha tersenyum semanis mungkin.
            Saat shalat dhuhur tiba-tiba Vira bertanya padaku, mengapa kedua orang tua kami tidak pernah shalat berjamaah bersama kami.
            “Memang segitu sibuknya ya kak, sampai mama nggak pernah ngabisin waktu sama kita? Kita kan nggak pernah shalat berjamaah sekeluarga, kak? Adik pengen, kak”. Saat ini perasaan campur aduk memenuhi otakku.
            “Mungkin Papa dan Mama memang benar-benar sibuk, Vir. Papa dan Mama kan kerja buat kita juga, sayang”.
            “Untuk makan bersama juga nggak bisa?”,Vira kembali bertanya padaku. Saat itu juga aku merasa bingung dan terdiam.
           

            Besoknya, sepulang sekolah, aku bercerita pada Lita tentang apa yang terjadi kemarin siang. Saat itu kami sedang berada di kamarku untuk mengerjakan beberapa tugas rumah.
            “Aku harus jawab apa, Lit?”, aku menangis untuk kesekian kalinya.
            “Sabar ya, mungkin kamu harus bicara sama Mamamu”. Jawab Lita dengan nada yang menenangkan. Ya, Mama adalah harapan satu-satunya saat ini, karena tadi malam secara tiba-tiba Papa keluar kota untuk urusan kantor. Dan seperti biasa, Papa tidak berpamitan kepada kami yang menunggu di rumah.
            “Aku sudah pernah bilang sama Mama. Tapi mama nggak pernah mau dengar. Yang ada, Mama justru marah dan bilang kalau semua ini juga untuk keluarga kami. Kenapa sih Mama harus kerja, padahal kalau hanya Papa yang kerja juga kami tidak akan kekurangan”. Tangisanku makin keras.
            “Sudah, ayo kita shalat dhuhur dulu”, ajak Lita.
            Saat aku dan Lita keluar kamar dan mendapati Mbok Nah di depan pintu kamar dan sedang berusaha merayu adikku agar mau makan.
            ”Adik nggak mau makan kalau nggak bareng Mama. Adik juga mau shalat kalau bareng Mama.”. Vira berteriak dan berlari menuju lantai bawah. Karena tidak berhati-hati, Vira terpeleset dan jatuh dari tangga. Kepalanya membentur lantai sangat keras sampai berdarah. Aku sangat panik, Lita dan Mbok Nah juga ikut panik. Aku dan Mbok Nah langsung membantu Vira dan Lita langsung menelepon ambulan.
            Di rumah sakit, aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Lita. Tiba-tiba Mama sudah sampai dengan mata sembab dan wajah penuh rasa khawatir. Aku mendekati Mama dan mulai marah
            “Kenapa Mama baru ada saat Vira sakit? Kenapa Mama nggak pernah menemani kami makan dan shalat bersama? Kami butuh bimbingan Mama. Kami butuh bantuan Mama untuk menguatkan keimanan agama kami. Mama kemana saja selama ini? Vira jatuh karena lari untuk keluar nunggu Mama. Dia lari sampai terpeleset di tangga. Dia mau makan dan shalat bareng Mama!”, aku tidak bisa menahan amarahku.
            “Maafin Mama, sayang”. Kami menangis dan berpelukan.
            Sudah semalam Vira belum terbangun, kami masih menunggu Papa yang sudah dalam perjalanan dari airport ke rumah sakit. Mama terus menerus berdoa disamping Vira dan menangis tanpa henti. Mama hampir tidak pernah meninggalkan Vira sedikitpun. Bahkan hanya untuk sekedar makan. Tidak lama setelah itu, Papa sudah masuk ke dalam kamar rumah sakit dan menangis.
            “Maafin Papa ya, sayang. Papa terlalu sibuk sampai lupa mengurus kamu dan Kak Sherly.”, Papa memegang erat tanganku dan tangan Vira.
            Tidak lama setelah itu Vira siuman, dan tiba-tiba ikut menangis. Kami sangat bersyukur atas keadaan Vira.
            “Papa, Mama, dan Kak Sherly jangan menangis ya. Vira nggak mau kalian sedih. Mulai sekarang kita akan sering makan bersama dan shalat berjamaah kan?”, goda Vira dengan senyumnya yang manis.
            “iya, nak. Kita akan sering makan bersama dan shalat berjamaah. Kita akan bangun kembali keluarga kita”. Ucap Papa dengan penuh keyakinan. Aku tersenyum senang.


Home | Lagu Gratis | Persebaya | Tips dan Trik | Cerpen

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar apapun tentang blog meupun artikel saya but no spam, no porn....oke my fren =)

Sebagian besar lagu yang ada di blog ini bersumber dari : www.gudanglagu.com

Iklan Baris