Aku bekerja di PT. Luminus Jaya milik ayahku. Beliau kini telah meninggal dunia, dan akulah satu-satunya ahli wais ayahku. Cukup berat memang menjalankan bisnis ini. Aku memang masih bujangan, usiaku baru 25 tahun, namaku adalah Bariem.
Di kantorku ini terdapat dua buah lift. Satu lift barang dan satu lagi lift biasa (penumpang). Nah, disinilah awal kejadian itu dimulai. Lift penumpang satu-satunya, kini tak lagi dioperasikan, karena banyaknya korban lift itu. Ya, aneh memang. Bahkan aku harus mengakuinya, ayahku sendiri meninggal dunia di dalam lift itu. Ceritanya berawal dari 3 tahun yang lalu, setelah ditemukan mayat Pak Cakra, seorang OB yang ketika itu sedang lembur. Mayatnya ditemukan di dalam lift tersebut, yang diduga melakukan pembunuhan itu adalah Karto, teman OBnya.
Tetapi, ternyata 1 minggu kemudian mas Karto telah ditemukan tewas bersimpuh darah didalam lift tersebut, dengan posisi dan tempat yang sama dengan mayat Pak Cakra. Sementara dugaan adalah pembunuhan. Namun hingga 3 bulan, belum ada titik terangnya.
Sudah 6 orang yang ditemukan tewas di dalam lift tersebut. Antara lain Pak Cakra (OB), mas Karto (ketua OB ), Yanti (Penjaga Lobi), Julius (Sekertaris HRD), dan ayahku sendiri, Darman (Manager HRD). Setelah kematian Julius, ayahku begitu panik. “Bagaimana ini? apa yang harus kulakukan?” katanya, sambil menahan tangis, pasrah.
Yah, begitulah. Hal itupun akhirnya terjadi juga pada ayahku. Saat ayahku bekerja lembur, esoknya ia ditemukan mati bersimpuh darah di dalam lift itu dengan kondisi yang sama dengan mayat-mayat sebelumnya.
Suatu sore, Ramzi mendatangi ruanganku. Dia duduk dan kemudian berkata, “Bagaimana Pak? Apakah gaji saya bisa kembali normal?”. Dengan berat hati aku menjawab, “Maaf ya pak, sementara ini belum bisa, kondisi perusahaan ini masih bangkrut. Masih belum stabil, mungkin saya akan menormalkannya 2 bulan berikutnya.”. “Baiklah kalau begitu, terima kasih,” sahutnya.
Ramzi adalah bagian HRD yang mengurusi data barang. Gajinya dipotong ayahku karena proyek pembangunan lift penumpang. Dengan wajah manyun, ia berdiri dan mangkat dari ruanganku. Namun sebelum sampai pintu keluar, ia kembali lalu duduk lagi “Ada apa lagi?” tanyaku padanya. “Begini pak, tadi saya dititipi oleh orang-orang bawah dan HRD untuk menyampaikan hal ini.” Jawabnya. “Hal apa itu?” tanyaku lagi. “Mereka minta agar lift normal dioperasikan lagi, karena mereka kesulitan kalau harus menggunakan lift barang atau tangga. Begitu saja pak, mohon dipertimbangkan. Terima kasih.” Jawabnya dengan nada berat. “Baik akan saya pertimbangkan.” Lalu Ramzi pun pergi, menghilang dibalik pintu keluar.
Kupikir usulnya benar juga. Memang sulit untuk naik lift barang, berdesakan dengan barang-barang. Apalagi kalau lewat tangga yang hanya selebar 2 meter. Walaupun hanya terdiri dari 5 lantai, mungkin lift juga dibutuhkan. Akupun berniat mengoperasikan lift penumpang kembali.
Keesokan harinya, akupun meminta bantuan beberapa ahli dan orang dalam untuk mengaktifkan lagi lift barang tersebut. “Semoga bermanfaat.” Doaku dalam hati.
Dua malam berlalu sejak diaktifkannya lift penumpang sementara ini baik-baik saja.
Di malam yang ketiga, hal itu terulang lagi. Kali ini korbannya adalah Maden. Kurir barang yang malam itu sedang lembur, dtemukan mati mengenaskan, dengan posisi yang sama dengan korban-korban sebelumnya, tanpa kepala.
Aku jadi pusing tujuh keliling, dan akhirnya berniat untuk menutup lift itu kembali. Tapi Ramzi menenangkanku. “Sudahlah, pak mungkin ini cuma pembunuhan biasa. Tidak usah dibesar-besarkan. Mungkin hal ini tidak akan terulang lagi.” Katanya.
Baiklah, akupun mulai menganggapnya biasa. Tapi, belum selesai kasus ini diurus, semingu kemudian hal serupa terjadi lagi. Korbannya kali ini adalah Fandy, sekertaris HRD yang baru.
Aaahh…. Harus kuapakan lift ini? Apa kubakar saja?
Deg….. aku jadi teringat pada kasus yang lalu. Setelah sekertaris HRD dibunuh, berikutnya adalah Manager HRD…….. Aku …..
Akupun menelan ludah, berfikir, menelaah. Pembunuhan ini terjadi sekitar seminggu sekali. “Betapa beraninya pembunuh ini” pikirku. Setelah 6 hari berselang, jantungku mulai keseleo karena sering berdetak kencang. Mungkin ini memang waktuku. Apa aku harus pasrah? Berserah? Atau malah melarikan diri?
Disisi lain, aku merasa penasaran. Dan rasa penasaranku ini, mengalahkan segalanya. “Baiklah, akan ku buktikan!” Seruku dalam hati. Esok harinya, aku sengaja lembur. Pukul 21.00, aku turun untuk melanjutkan tugasku. Jantungku cepat berdetak dan rasa penasaranku semakin bergejolak.
Lantai 2, lantai 3, lantai 4, dan lantai 5 pemberhentianku. Apa ini? Sesuatu yang dingin terkatung di leherku. Ketika satu langkah ku diluar lift. Lalu seseorang berkata dlbelakangku. “Apa kau sudah siap akan hal ini?” Suara itu … itu … Ramzi. “Jadi selama ini, k… ka ... kau …?” kataku terbata, dengan adanya sebilah parang dileherku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Parang itu seakan membungkam mulutku. “Jika kau mati, tanyakan pada ayahmu. Mengapa dia tega memotong gajiku secara sepihak?” tanyanya dingin. ”Apakah dengan ini gajimu akan naik? Apakah dengan ini keluargamu akan kembali sejahtera?” tanyaku tegas” semua pertanyaanmu itu, akan dijawab oleh ayahmu!” lalu Crashs … dia menggorok leherku, hingga kepalaku hampir putus. Aku pun mati seperti orang-orang sebelum aku bersimpah darah….
“Aku … apa yang aku lakukan selama ini? Aku … aku sudah banyak dosa. Menyerahpun, aku akan dihukum mati. Lebih baik aku mati sekarang saja!” kata Ramzi lalu menusuk jantungnya sendiri.
Begitulah cerita ini berakhir. Pembunuhanpun tidak terjadi lagi. Lift penumpang dapat berjalan normal. Aku dimakamkan disamping makam ayahku.
Sekarang aku merasa tenang. Rasa penasaranku tentang pembunuhan berantai di dalam lift itu sudah terjawab. Aku bertemu teman-teman lamaku, yang telah mati, termasuk ayahku. Di dunia lain ini, aku merasa tenang. Jangan sampai aku menghantui kalian.
Home | Lagu Gratis | Persebaya | Tips dan Trik | Cerpen
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar apapun tentang blog meupun artikel saya but no spam, no porn....oke my fren =)