Mereka adalah massa suporter kesebelasan Persebaya yang fanatik, yang tak pernah mau melewatkan kesempatan untuk mendukung dan menyemangati kesebelasan kesayangannya, ke mana pun kesebelasan itu berlaga. Mereka dinamakan dan menamakan diri Bonek, suatu sebutan yang sebenarnya berkonotasi buruk. Namun, anehnya, itu acap malah dijadikan lambang penumbuh rasa bangga di kalangan mereka.
Siapakah yang terbilang grup Bonek itu? Mereka adalah anak-anak yang hampir semua lelaki muda usia, berumur rata-rata 15-25 tahun, dan berasal dari kalangan masyarakat urban strata bawah. Berusia relatif muda, yang secara biologis-psikologis berada pada suatu stadium ''bermaco-maco'', mereka sungguh bergairah kuat untuk tampil perkasa, dan diakui sebagai sosok yang heroik.
Namun, nyatanya gairah seperti itu acap gagal dalam realisasinya. Dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan urban yang lugas, mereka selalu kalah dalam perebutan untuk meraih posisi di stratum atas. Karena kekurangan modal finansial dan modal sosial yang diperlukan untuk bisa tampil mengemuka, mereka adalah manusia-manusia muda yang punya wajah, tapi tak tertengok. Punya suara, tapi tak ada yang mau mengacuhkan.
Maka, jadilah mereka itu oknum-oknum yang merasa pecundang dalam persaingan melawan mereka yang mapan dan lebih bermodal. Mengidap kompleks inferior dan merasa diabaikan masyarakatnya, maka yang bertumbuh kembang dalam jiwanya tak akan lain daripada rasa frustrasi, dan pada gilirannya juga rasa amarah. Berkeadaan seperti itu, mereka dibentuk oleh lingkungan urban yang penuh kesenjangan sehingga menjadi individu-individu yang berpotensi agresif dan penuh rasa permusuhan, yang cenderung mencari dadakan untuk bisa melampiaskan rasa frustrasi dan amarah yang terpendam. Syahdan, dadakan yang dicari anak-anak muda calon Bonek itu pada belakangan ini ditemukan dalam tontonan sepak bola.
Mengapa sepak bola? Sepak bola adalah sebuah permainan yang bertujuan menyehatkan jiwa dan raga para individu pemain. Tapi, kini sepak bola tak lagi dikembangkan sebagai permainan yang mengasyikkan, melainkan juga sebagai pertarungan kalah-menang dengan segala konsekuensinya. Simbol-simbol pertarungan dipopulerkan di situ. Bukan hanya nama resmi yang digunakan untuk mengidentifikasi hadirnya suatu kesebelasan. Banyak atribut dan sebutan tak resmi dipakai untuk menyemangati para petarung. Ada sebutan-sebutan semacam Bajul Ijo, Singo Edan, atau Mahesa Jenar di sini.
Di negeri ini bahwa yang menang akan dielu-elukan, sedangkan yang kalah bakal dicemooh secara berlebihan, emosi, ego, dan superioritas versus inferioritas bakal sangat nyata. Sebagai tontonan massa di gelanggang terbuka, sepak bola yang bermuatan emosi tinggi seperti itu tak hanya akan dimasuki petarung-petarung yang disebut kesebelasan, tapi juga para pendukungnya dalam jumlah terkadang melebihi kapasitas stadion. Itulah para pendukung yang akan ikut merasakan nikmatnya rasa kejayaan apabila kesebelasan yang mereka dukung menang. Para pendukung yang tak biasa merasakan nikmatnya berego superioritas dalam kehidupan mereka sehari-hari akan selalu mencemaskan kekalahan. Emosi mereka gampang memuncak, kehilangan kontrol, terkadang melebihi para pemain. Kekerasan fisik ataupun simbolis acap terjadi di sini.
Dibutuhkan sebagai pendukung kesebelasan petarung, para ofisial acap pula memanjakan mereka dengan permisivisme yang berlebihan. Secara psikologis untuk bertindak dalam alam permisivisme yang terkadang kelewatan. Dari situ pulalah bermulanya segala bentuk ekspresi yang nekat oleh kelompok anak-anak muda yang dalam kehidupan sehari-hari wajahnya tak pernah ditengok, dan suaranya tak pernah didengar. Bergerak dalam suatu satuan yang acap kurang terorganisasi, mereka yang ''bondho nekat'' itu acap gampang melepaskan diri dari sembarang bentuk kontrol, baik yang kontrol diri maupun sosial.
Mengakhiri kenekatan para pendukung yang pada masa pra maupun pasca pertandingan melibatkan diri secara emosional dalam setiap pertandingan, upaya untuk menurunkan tensi dan status pertandingan amat menentukan. Suasana stadion mestilah lebih tergambarkan sebagai lapangan permainan daripada menjadi gelanggang pertarungan di antara para jago. Emosi pemain, penonton, dan para pendukung mestilah bisa diredakan dengan berbagai selingan yang menghibur. Kualitas mereka yang akan menjadi para pendukung mestilah dikontrol benar-benar.
Harus diakui bahwa upaya yang disebutkan terakhir itulah justru yang paling sulit dilakukan dengan hasil baik. Mereka yang pendukung itu telanjur diberikan akses dan merasa diperlukan sebagai bagian dari aset penentu kemenangan, yang pada ujung-ujungnya berhasil membentuk diri sebagai massa yang sulit didisiplinkan. Segala perilakunya sudah dielu-elukan sebagai perilaku heroik dan bukan semata-mata sebagai pembuat onar. Apabila para ofisial dan aparat keamanan kewalahan mengontrol, warga masyarakat itulah yang akhirnya akan bertindak, yang justru tak menyelesaikan persoalan.
Anarkisme dan jatuhnya korban tewas dan cedera dalam peristiwa petualangan Bonek ke Bandung baru-baru ini adalah contoh dan merupakan suatu pelajaran berharga bagi kita semua. Tak mustahil, peristiwa semacam itu salah-salah akan bisa terulang lagi. Semoga tidak.jpnn
Sumber : Persebayafc
Home | Lagu Gratis | Persebaya | Tips dan Trik
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar apapun tentang blog meupun artikel saya but no spam, no porn....oke my fren =)